Judul: Musibah Besar! Tercabutnya Ilmu Syar’i | Judul Asal (‘Arab): Raf’ul ‘Ilmu | Penulis: Syaikh Abu Nashr Muhammad bin ‘Abdillah Al-Imam hafidzahullaah | Penerbit: Darus Sunnah | Berat: 350gram | Muka Surat: 267 m/s. (Soft Cover). [Disediakan oleh krew Atsar ent., www.atsar.ilmusunnah.com]
Betapa ramainya orang yang menyangka mereka dalam kemuliaan, megah di tampuk kuasa, punya harta yang mewah, namun mereka meninggalkan ilmu dan bahkan memerangi ilmu. Mereka menyangka mereka mulia dan megah dengan dunia mereka, namun hakikatnya mereka hina dan bodoh.
Tokoh tabi’in, Al-Ahnaf bin Qais berkata:
“Setiap kemuliaan jika tidak ditopang dengan ilmu, maka kesudahannya adalah kehinaan.” (Ibnu ‘Abdil Bar, Jaami’ Al-Bayaan Al-‘Ilm wa Fadhlihi, no. 309)
Setiap kemuliaan dan kekuasaan yang tidak ditopang dengan ilmu, ia tidak akan membawa manfaat dan tidak akan kukuh.
Guru Imam Malik, Rabi’ah rahimahumallaah pernah berkata:
“Ilmu adalah sarana untuk meraih segala kemuliaan.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 6/90)
Amirul mukminin Ibn Syihab Az-Zuhri rahimahullah berkata:
“Para ulama kita dahulu berkata, “Berpegang-teguh dengan sunnah adalah keselamatan, dan ilmu itu sangatlah mudah tercabut, maka kebangkitan ilmu adalah kelangsungan bagi agama dan dunia, sedangkan jika ilmu telah hilang, maka hilanglah semua yang ada.” (Sunan Ad-Darimi, no. 97)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (Wafat: 204) pernah berkata:
“Sesiapa yang belajar Al-Qur’an, nescaya harga dirinya akan tinggi. Sesiapa yang belajar fiqih, nescaya dia akan dihormati. Dan sesiapa yang menulis hadis, maka hujahnya akan kuat.” (Abu Nu’aim, Hilyatul Awliyaa’, 9/123)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (Wafat: 751H) dalam kitab Miftah Daar As-Sa’adah berkata:
“Kekuasaan ilmu itu lebih agung dari kekuasaan tangan, untuk itu manusia akan lebih tunduk terhadap sebuah hujah yang tidak mampu dilakukan dengan tangan (kekuatan), kerana dengan membentangkan hujah, maka hati manusia akan patuh. Adapun dengan kekuatan tangan (kuasa), maka hanya jasad sahaja yang tunduk.
Hujah mampu menawan hati dan menundukkannya, dan ia mampu menghinakan sesuatu yang menyelisihinya. Sekalipun ia menampakkan kekerasan kepala dan keangkuhannya, namun sebenarnya hatinya tunduk kepadanya serta hina dan kalah di bawah kekuasaan ilmu.
Tetapi apabila seseorang penguasa tidak memliki ilmu tentang cara mengatur, maka ia selayaknya menjadi penguasa haiwan buas dan hitam serta yang sejenisnya, iaitu suatu kemampuan (kekuatan) tanpa perlu bergantung pada ilmu, tidak pula belas kasihan.
Berbeza halnya dengan penguasa yang punya ilmu, maka ia memiliki kemampuan (kekuatan) yang ditopang dengan ilmu, belas kasihan, serta hikmah.” (Miftah Daar As-Sa’aadah, 1/244-245)
Dan Ibnul Qayyim juga turut menyatakan bahawa ilmu itu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan para raja dan orang-orang kaya. Ilmu itu menjaga pemiliknya, sedangkan harta maka pemiliknya-lah yang perlu menjaganya.
Dan harta itu dapat diraih oleh sama ada orang mukmin, kafir, ataupun jahat, sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya dapat dimiliki oleh orang yang mukmin.
Orang yang punya ilmu diperlukan oleh setiap orang baik dari kalangan raja mahupun orang-orang bawahan. Sedangkan orang yang punya harta, hanya orang-orang yang melarat yang memerlukannya.
Orang yang kaya jika mati, maka dia pun berpisah dari hartanya, sedangkan orang yang punya ilmu maka ilmunya akan menemaninya.
Demikianlah sebahagian dari keutamaan ilmu menurut para ulama generasi awal. Betapa mereka mengagung-agungkannya. Bahkan mereka sanggup meninggalkan dunia mereka demi ilmu. Kerana dengan ilmu tersebutlah, nama mereka pun disebut-sebut sampai ke hari ini.
Dan ilmu yang dimaksudkan di sini, tidak lain dan tidak bukan sudah tentulah ilmu syar’i. Iaitu ilmu yang datang dari wahyu berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun pada hari ini, sejauh manakah dari kalangan kita ini benar-benar mengagungkan ilmu-ilmu syar’i? Atau bahkan kita mengabaikannya sekaligus kita pun semakin mundur dan hidup terperosok. Dihimpit dengan kesibukan dunia sehingga benak menjadi sempit? Sampai-sampai kita tidak mengenal ilmu itu sendiri dan tidak mengenal orang-orang yang berilmu.
Tercabutnya ilmu Syar’i
Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Bersabarlah kalian, kerana sesungguhnya tidaklah tiba suatu masa kepada kalian, melainkan (keadaan) masa yang setelahnya akan lebih buruk berbanding sebelumnya. Sampailah kalian menemui Rabb kalian.” (Shahih Al-Bukhari, no. 7068)
Sahabat Nabi, ‘Abdullah Ibnu Mas’oud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan:
“Sesungguhnya kamu sekarang ini berada di zaman yang ramai ulamanya dan sedikit tukang khutbahnya. Sesungguhnya akan datang setelah kamu semua nanti suatu zaman yang banyak tukang khutbahnya (banyak pemidato) tetapi sedikit ulamanya.” (Al-Mustadrak Al-Hakim, No. 8487. Dinilai sahih oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani)
Ini berlaku tidak lain adalah kerana para ulamanya wafat, dan ilmu pula hilang dibawa mereka. Penyimpangan dan ketergelinciran pula banyak berlaku, ulama yang benar pula tidak dikenal. Hawa nafsu lebih diutamakan, dan ilmu tidak diambil dari sumbernya yang benar. Dan masyarakat pula sedikit demi sedikit meninggalkannya, tidak mengamalkannya, tidak memuliakannya, dan mengabaikannya sehinggalah mereka pun hanyut dibawa arus kesibukan dunia yang memperdaya.
Bahkan banyak sekali hadis-hadis yang menyebutkan hal ini. Semakin dekatnya dengan hari Kiamat, maka semakin ilmu-ilmu itu hilang dan bermacam-macam musibah pun menimpa manusia.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Di antara tanda-tanda dekatnya Kiamat adalah dicabutnya ilmu dan yang tersisa adalah kebodohan, khamr akan ditenggak (diminum), serta berleluasanya perzinaan.” (Shahih Al-Bukhari, no. 80. Muslim, no. 2671)
Dalam hadis yang lain dari ‘Abdullah dan Abu Musa radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya sebelum datang hari Kiamat, akan turun kepada mereka kebodohan, tercabutnya ilmu, banyak terjadi Al-Harj. Dan Al-Harj itu adalah pembunuhan.” (Shahih Al-Bukhari, no. 7062. Muslim, no. 2672)
Kemudian dalam hadis yang lain dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan wujudnya ilmu itu sendiri dari para hamba, tetapi Allah akan mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama sampai tidak tersisa lagi seorang alim pun di antara mereka sehingga manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin (tempat rujukan), maka mereka pun akan ditanya dan langsung mereka berfatwa tanpa didasari ilmu. Mereka pun sesat dan menyesatkan.” (Shahih Al-Bukhari, no. 100. Muslim, no. 2673)
Demikianlah sebahagian dari hadis-hadis tentang musibah tercabutnya ilmu. Tatkala para ulama tidak dikenali, lalu para ulama diwafatkan, manusia pula tidak lagi mementingkan ilmu, dan tidak mengenali ahlinya, maka saat itulah musibahpun datang menimpa mereka.
Dan hal ini telah mula tampak pada hari ini dan saat ini.
Dan insyaAllah, penulis akan menjabarkan lagi hal ini di dalam buku ini; Apa yang dimaksudkan dengan ilmu, apa itu ilmu yang bermanfaat, kedudukan dan keutamaan ilmu, ilmu apakah yang akan terangkat (hilang), apa punca dan faktor-faktor terangkatnya ilmu dari dada-dada manusia, bilakah ilmu mula menghilang, dan yang terakhir tentang fenomena terangkatnya Al-Qur’an lalu Kiamat pun tiba. [Disediakan oleh krew Atsar ent., www.atsar.ilmusunnah.com]
Maka renung-renungkanlah. Saatnya akan tiba. Dari itu, beringatlah, muliakanlah ilmu-ilmu yang benar, atau musibah akan melanda dan orang-orang pun akan terfitnah. Na’uudzubillaahi min dzaalika.